PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM MENGKAJI TEKS HADITS




PENDEKATAN HERMENEUTIK
DALAM MENGKAJI TEKS HADITS
Binti Nurjanah
Program Pasca Sarjana IAIN Tulungagung

Abstrak
Studi hadits dalam masalah pemahaman dan pemaknaan terhadap hadits sangatlah penting, karena merupakan tuntutan zaman. Dalam mengkaji teks atau matan hadits harus memahami variabel dan situasi di balik sebuah teks atau matan sehingga terhindar dari kesalahpahaman dalam menafsirkan teks atau matan hadits. Dengan pendekatan historis-deskriptif, makalah ini akan memetakan hadits dan pendekatan dalam mengkaji hadits. Ada 3 (tiga) kecenderungan kajian hadits yang dideskripsikan dalam makalah ini, yaitu 1) Hadits sebagai berita, 2) Pendekatan  hermeneutik, 3) Mengkaji atau memahami makna teks atau matan hadits melalui pendekatan  hermeneutik.
Kata Kunci: hadits, pendekatan hermeneutik, matan
PENDAHULUAN
Hadits merupakan sumber ajaran Islam dan sumber hukum yang kedua setelah Al-qur’an. Menurut ulama ahli ushul fiqh, hadits adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Saw. yang berkaitan dengan penetapan hukum.[1] Sementara dalam versi ahli hadis, hadis mempunyai pengertian yang lebih luas mencakup segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw., baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, penampilan fisik dan budi pekerti, biografi, peperangan, hingga gerak dan diam dalam kondisi jaga dan tidur, serta sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.[2] Berbalik dari pernyataan tersebut, maka wilayah hadits merangkul seluruh kegiatan atau aktivitas kehidupan Nabi Saw. sehari-hari.
Dalam mengkaji hadits harus dilihat dulu status dan konteks hadits pada saat sebuah hadits disabdakan, serta harus mengetahui bentuk-bentuk teks atau matan sebuah hadits. Karena hal itu merupakan upaya yang sangat penting dalam memahami makna hadits secara utuh.
Dalam studi ulumul hadits, masalah pemahaman (under standing) dan pemaknaan (meaning) terhadap matan sebuah hadits tidak hanya menempati posisi yang sangat signifikan dalam wacana pemikiran Islam kontemporer, tetapi juga secara subtantif memberi spirit reevaluatif dan reinterpretatif terhadap berbagai pemahaman dan penafsiran hadits yang selama ini taken for granted di kalangan umat Islam.[3] Permasalahan ini akan nampak lebih jelas ketika pemahaman atau pemikiran dan pemaknaan hadits ditunjukkan dengan kenyataan dan permintaan sejarah perkembangan zaman atau perubahan kehidupan masyarakat global.
Model pemahaman seperti ini didasarkan pada satu asumsi bahwa teks atau matan hadits bukanlah sebuah narasi yang berbicara dalam ruang hampa sejarah (vacuum historis), melainkan berada di tengah-tengah sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi di balik sebuah teks atau matan yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin memahami dan merekontruksi makna sebuah hadits.[4] Apabila tanpa memahami berbagai kondisi dan situasi di belakang sebuah teks atau matan hadits, meliputi suasan historis, sosiologi, psikologis dan sebagainnya, maka akan menimbulkan kesalahpahaman dalam menafsirkan atau memaknai teks atau matan hadits tersebut.
Oleh karena itu diperlukan berbagai pendekatan, seperti: pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, historis, kebudayaan, filosofis, fenomenologi dan hermeneutik. Adapun yang dimaksud pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.[5] Dalam makalah ini, penulis menyajikan atau memaparkan mengenai hadits dan pendekatan hermeneutik dalam mengkaji atau memahami makna teks atau matan hadits.
PEMBAHASAN
Hadits Sebagai Berita
Pengertian hadits dari segi bahasa lebih ditekankan pada arti berita atau khabar, sungguhpun kata tersebut dapat berarti sesuatu yang baru atau sesuatu yang menunjukkan waktu yang dekat.[6] Sebuah berita ini biasanya memberikan suatu informasi yang sangat pendek tentang perkataan, perbuatan, persetujuan atau ketidak persetujuan Nabi Saw.
Dalam proses penyampaian hadits, ada 3 (tiga) cara yang dilakukan oleh Nabi, yaitu:
1.    Penyampaian secara verbal. Bentuk ini merupakan bentuk penyampaian utama, karena Nabi memang memiliki tugas utama sebagai seorang penyampai (Muballigh). Model penyampaian hadits dengan cara verbal semacam ini, ada kalanya didahului oleh sebuah peristiwa, seperti pertanyaan sahabat dan adakalanya tanpa momentum yang mendahuluinya.
2.    Penyampaian secara tertulis. Hal ini dilakukan ketika dakwah Nabi dilakukan secara terang-terangan. Tulisan tersebut berupa surat ajakan Nabi kepada pemimpin-pemimpin ‘Negara’ tetangga untuk ber-‘Islam.
3.    Penyampaian secara demonstratife, yaitu dalam bentuk perilaku Nabi untuk menjelaskan hal-hal yang sifatnya praktis, seperti sholat, wudhu, tayammum dan lain-lain.[7]
Setiap hadits mengandung dua bagian yang satu sama lainnya saling mendukung, yang pertama disebut teks atau matan hadits itu sendiri dan yang kedua adalah mata rantai transmisi, sanad, yang menyebutkan nama-nama penutur (rawi) teks hadits tersebut.[8] Oleh karena itu, persoalaan paling utama adalah kedua unsur tersebut yakni teks atau matan dan nama-nama penutur atau sanad, tidaklah mungkin bila kedua unsur tersebut muncul dengan tiba-tiba tanpa melalui masa berkembangan baik dari sisi teknis maupun materinya.
Suatu hadits yang dianggap tidak resmi, bisa jadi sungguh-sungguh ada pada masa hidup Nabi sendiri saat Nabi dijadikan sebagai sumber pedoman masyarakat muslim, tetapi setelah Nabi wafat hadits beralih dari kondisi informal semata-mata menjadi semi-formal.[9] Ketika Nabi Saw. masih hidup tidak ada permasalah yang bersangkutan dengan oreantasi hadits. Hadits masih tetap terjaga keshahihannya, karena untuk memeriksa keshahihan hadits tinggal menemui Nabi Saw., sebab Nabi masih ada. Sedangkan ketika Nabi Saw. wafat mulai muncul perpecahan kelompok atau permasalahan yaitu keshahihan atau pemalsuan hadits.
Jumlah hadits membengkak pesat karena masing-masing kelompok yang terpecah membuat ‘hadits-hadits’ sendiri, baik sebagai alat legitimasi maupun sebagai alat penyerang pihak lawan.[10] Dari sini muncullah problem yakni bagaimana mengetahui hadits yang benar-benar dan bukan berasal dari Nabi Saw.
Salah satu upaya untuk memahami keaslian hadits ini adalah melalui sistem isnad yaitu setiap berita yang dinisbatkan kepada Nabi Saw. harus mempunyai serangkaian sanad hingga pada diri Nabi Saw. bersamaan dengan itu, diciptakanlah teori-teori tentang validitas sebuah hadits.[11] Ada 5 (lima) unsur pokok yang menjadi batasan keshahihan sebuah hadits, yaitu Pertama, Persambungan sanad para perawi, Kedua, Keadilan perawi, Ketiga, Tingkat kemampuan perawi dalam pemeliharaan hadits (dhabit), Ke-empat, Terhindar dari syaz, Ke-lima, Terhindar dari ‘illah.[12] Kelima unsur ini pada awalnya dikenal sebagai tolak ukur kritik sanad, namun pada perkembangan berikutnya istilah ini juga dikenakan sebagai tolak ukur bagi kritik matan. Karena itu, hadza hadits shahih mempunyai arti bahwa hadits tersebut adalah shahih, baik dari sisi sanad maupun matan.[13]
‘Abdullah bin al-Mubarak (wafat 181 H/797 M) menyatakan bahwa: “Sanad hadits merupakan bagian dari agama. Sekiranya sanad hadits tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dikehendakinya”.[14] Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa sanad hadits merupakan hal terpenting dalam periwayatan hadits. Keberadaan suatu hadits yang termuat dalam berbagai kitab hadits juga ditentukan oleh keberadaan dan kualitas sanadnya.
Ibn Al-Jawzi (wafat 597 H/ 1210 M) memberikan tolak ukur keshahihan matan yaitu setiap hadits yang bertentangan dengan akal ataupun berlawanan dengan ketentuan pokok agama, pasti hadits tersebut tergolong hadits mawdhu’, karena Nabi Muhammad Saw. tidak mungkin menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, demikian pula terhadap ketentuan pokok agama, seperti menyangkut aqidah dan ibadah.[15]
Kaitannya dengan pemahaman keshahihan matan hadits, Muhammad Al-Ghazali mengajukan tiga syarat yang harus dimilki seseorang yang ingin meneliti kebenaran dan mengkaji hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. yakni:
1.    Ia harus memahami Al-qur’an dan cabang-cabang ilmunya secara mendalam. Hal ini penting karean Al-qur’an merupakan referensi pokok dalam Islam. Untuk mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang muslim harus bertolak dari petunjuk Al-qur’an.
2.    Ia harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang riwayat-riwayat dan matan  hadits. Keahlian tersebut penting bukan hanya untuk mengetahui ketersambungan sanadnya, tetapi untuk mengetahui kualitas individu-individu yang ikut serta dalam periwayatan hadits tersebut. Namun yang terpenting adalah mengetahui kualitas matan hadits.
3.    Ia harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hal dan peristiwa yang melingkupi kemunculan hadits dihadapan Al-qur’an secara proporsional.[16]
Dalam diskursus hadits, proses discovery terhadap transmisi mata rantai (sanad) dianggap lebih mudah penyelesaiannya dan sudah dianggap final disbanding memahami sebuah matan yang pemaknaannya bersifat tidak terbatas (unlimited) terutama ketika teks tersebut dihadapkan pada ungkapan-ungkapan yang bersifat Jami’ al-Kalim, Mukhtalaf al-Hadits, dan hadits yang memiliki sebab-sebab khusus dan ada pula yang tidak.[17] Terdapat hadits yang saling bertentangan, yaitu karya imam syafi’I dan Ibnu Qutaibah, disatu sisi bisa memberi petunjuk kepada kita untuk memahami proses fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana, memahami beberapa hal menyangkut sebab-sebab lahirnya sebuah wacana (asbabul al-wurud) dan dapat menjadi “jembatan” argumrn bagi kelompok-kelompok yang meragukan otoritas dan hegemoni hadits sebagai sumber kedua setelah Al-qur’an.[18] Namun ketika kedua karya tokoh tersebut dijadikan sebuah jawaban dan resensi di zamannya, maka hal ini dianggap kurang memberikan solusi terhadap situasi dan realita yang dihadapi masyarakat Islam sekarang. Karena kehidupan terus berkembang atau terjadi perubahan zaman.

Hermeneutik
Secara etimologi, hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuien yang berarti menafsirkan.[19] Dalam mitologi Yunani, ada tokoh yang namanya dikaitkan dengan hermeneutik yaitu Hermes. Menurut mitos, Hermes bertugas untuk menafsirkan kehendak dewa dengan bantuan kata-kata manusia agar manusia dapat memahami kehendak dewa, sebab bahasa dewa tidak dapat dipahami manusia.[20] Menurut Husen Nasr, Hermes tak lain adalah Nabi Idris.[21]
Definisi hermeneutika secara luas dikemukakan oleh Zigmunt Bauman, yaitu:
“Sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan  bagi pendengar atau pembaca”.[22]
Problematika hermeneutik pada hakikatnya problematika yang berkaitan dengan bahasa, karena untuk berfikir, menulis, berbicara, mengerti, bahkan interpretasi, semua menggunakan bahasa.[23] Tugas hermeneutik yang paling utama adalah untuk memahami teks.
Dalam perkembangannya hingga sekarang ini, hermeneutik minimal mempunyai tiga pengertian. Pertama, dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu yang relative abstrak (misalnya ide pemikiran) ke dalam bentuk ungkapan-ungkapan yang konkret (misalnya dengan bentuk bahasa). Kedua, terdapat usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca. Ketiga, seseorang sedang memindahkan suatu ungkapan pikiran yang kurang jelas diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.[24]
Atas dasar pengertian-pengertian ini, jika hermeneutik ditarik dalam wanaca studi hadits, maka persoalan yang muncul adalah bagaimana menjelaskan isi sebuah matan kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan kurun waktu yang jauh berbeda dari pihak pengarangnya (Nabi Muhammad) untuk dipahami dan direkonstruksi dalam rangka menafsirkan realitas sosial kekinian.[25] Disini pendekatan hermeneutik bukan hanya sebagai pemahaman semata, tetapi juga sebagai ilmu yang menjelaskan atau menguraikan tentang hadits dalam situasi baru maupun kekinian.
Berikut ini adalah beberapa pemikiran seputar pemaknaan hadits Nabi dari tokoh-tokoh era modern yang bernuansa hermeneutik. Menurut Syuhudi Ismail, hermeneutika hadits lebih ditekankan pada pembedaan makna tekstual dan kontekstual hadits. Ia berpendapat bahwa matan dari hadits-hadits Nabi ada yang perlu dipahami secara tekstual, kontekstual dan tekstual-kontekstual sekaligus.[26]
Pemahaman hadits secara tekstual dilakukan bila hadits yang bersangkutan dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinnya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadits yang bersangkutan. Begitu pula dengan halnya pemahaman hadits secara kontekstual dilakukan bila “di balik” teks suatu hadits, ada petunjuk kuat yang mengharuskan hadits yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang tersurat (tekstual).[27] Pemahaman Syuhudi Ismail di atas berangkat dari asumsi dasar hermeneutika, yaitu pluralitas hidup manusia. Menurutnya, masyarakat manusia pada setiap generasi dan tempat, selain memiliki berbagai kesamaan, juga memiliki berbagai perbedaan dan kekhususan. Perbedaan dan kekhususan itu mungkin disebabkan oleh perbedaan waktu dan atau mungkin oleh perbedaan tempat. Disinilah pentingnya kontekstualisasi dalam memahami ajaran Islam yang sesuai dengan segala waktu dan tempat ketika dikaitkan dengan kondisi masyarakat manusia.[28]
Ada sebuah rumusan metodologis sistematis hermeneutika hadits yakni:
1.    Kritik historis. Sebuah tahapan penting dalam hermeneutika berdasarkan asumsi bahwa tidak mungkin terjadi pemahaman yang sahih bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dipahami itu secara historis otentik. Oleh karena itu, penggunaan kaidah ke-sahi-an yang telah ditetapkan oleh para ulama merupakan sesuatu yang niscaya meskipun harus diakui bahwa pada tingkatan operasional, penggunaan kaidah tersebut maasih menghadapi sejumlah problem.
2.    Kritik eidetis. Kritik ini memuat tiga langkah utama: Pertama, analisis isi, yaitu pemahaman terhadap muatan makna hadits melalui kajian linguistik, kajian tematis-komprehensif, dan juga dilakukan konfirmasi makna yang diperoleh dengan petunjuk Al-qur’an. Kedua, analisis realitas historis, yaitu upaya untuk menemukan konteks sosio-historis hadits-hadits. Langkah ini mensyaratkan adanya suatu kajian mengenai situasi makro, yaitu situasi kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Rasulullah Saw., termasuk mengenai kultur mereka. Setelah itu, kajian mengenai situasi-situasi mikro, yaitu asbabul wurud al-hadis, dan Ketiga, analisis generalisasi dengan cara menangkap makna universal yang tercakup dalam hadits.
3.    Kritik Praktis, yaitu suatu kajian yang cermat terhadap situasi kekinian dan analisis berbagai realitas yang dihadapi, sehingga dapat dinilai dan diubah kondisinnya sejauh diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk mengimplementasikan nilai-nilai hadits secara baru pula.[29]
Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan atau benang merah, bahwa bagi mereka yang mendalami dan atau mempelajari sejarah Nabi Muhammad Saw. dan perilaku para sahabat Nabi Saw. sudah barang tentu akan mempunyai atau memiliki pemahaman atau pemikiran yang berbeda dari mereka yang tidak mendalami dan atau mempelajari sejarah dan perilaku para sahabat Nabi Saw. ketika sama-sama memahami sebuah matan hadits. Karena sebagian uacapan atau perkataan Nabi Saw. bersifat situasional, maka oleh sebab itu sebagian sabdanya dirasakan tidak lagi tepat untuk menjelaskan realitas sosial hari ini.
Mengkaji Teks atau Matan Hadits
Meneliti kebenaran suatu teks merupakan bagian dari upaya membenarkan yang benar dan membatalkan yang batil. Kaum muslimin sangat besar perhatiannya dalam segi ini, baik untuk penetapan suatu pengetahuan ataupun pengambilan suatu dalil. Apalagi jika hal itu berkaitan dengan riwayat hidup Nabi, atau ucapan dan perbuatan yang dinisbatkan kepada beliau.[30] Rasulullah memiliki berbagai posisi dan fungsinya, yaitu adakalanya Rasulullah berperan sebagai manusia biasa, sebagai pribadi, sebagai suami, sebagai utusan Allah, sebagai kepala Negara, sebagai pemimpin masyarakat, sebagai panglima perang maupun sebagai hakim. Keberadaan Rasululllah ini menjadi acuan bahwa untuk memahami Hadits beliau perlu dikaitkan dengan peran apa yang sedang beliau “mainkan”.Oleh karenanya penting sekali menduduki pemahaman hadits pada tempat yang proposonal, kapan dipahami secara tekstual, kontekstual, universal, temporal, situasional maupun lokal.[31]
Terdapat persoalan seperti ini, suatu kewajaran bagi umat Islam untuk membicarakan apa yang dilakukan atau dikatan Nabi, terutama yang berhubungan dengan masalah-maslah kemasyarakatan. Apabila kita menolak fenomena yang wajar ini berarti kita sangat tidak bersikap rasional dan telah melakukan kesalahan terhadap sejarah. Dengan demikian, rekrontruksi makna atas sebuah hadits bukan hanya merupakan manifestasi dari sikap rasionalitas dan keniscayaan sejarah, tetapi juga sekaligus menempatkan ucapak dan perbuatan Nabi menjadi sesuatu yang selalu hidup dan bermakna dalam dimensi ruang dan waktu.[32]
Upaya menghidupkan ucapan dan perbuatan Nabi ini pernah dilakukan oleh sebagian ulama Islam pada masa lampau, diantaranya Imam Syafi’i, Ibnu Qutaibah dan Ibn Hajar al-Atsqalany. Dalam wacana hermeneutik, ketiga tokoh ini, baik Imam Syafi’i, Ibn Qutaibah ataupun Ibnu Hajar sama-sama telah melakukan ziarah historis dan dialog hermeneutik dengan implikasi yang sangat besar. Implikasi tersebut antara lain: pemahaman terhadap Al-qur’an, hadits dan tradisi keislaman selalu diperbaharui dan diperluas horisonnya sehingga tidak mengeras dan menutup diri menjadi ideologi yang disakralkan dan menyingkirkan penilaian tabu terhadap upaya penafsiran baru. Perluasan horizon sulit diwujudkan jika seseorang tidak menyadari bahwa semua peristiwa dan pemikiran selalu dibatasi oleh situasi, termasuk medium bahasa Arab yang disapa secara langsung kala itu. Menyadari dimensi “situasional” ini, maka tradisi Islam telah melahirkan sekian banyak mujtahid yang selalu berusaha memperluas horizon penafsiran dan pemahaman umat Islam terhadap Al-qur’an (termasuk hadits).[33]
Atas dasar pemahaman ini, maka sebuah teks keagamaan (baca: Al-qur’an atau hadits) hanya akan menjadi bermakna apabila diposisikan secara relasional dengan mesyarakat pembacanya. Sebuah hadits tidak pernah berdiri sendiri, tetapi memiliki kaitan dengan tradisi dan komunitas beragama yang meresponinya. Ketika hadits dilepaskan dari umatnya, maka tidak akan lagi bermakna, kecuali sekadar bundelan kertas yang dipenuhi goresan tinta di koleksi perpustakaan. Karena itu, untuk menghindari kumpulan hadits menjadi benda-benda arkeologis, maka dalam perspektif ini, matan hadits harus direkrontruksi dan tetap terbuka serta tidak terbatas pada penggal waktu tertentu sebagaimana yang dimaksud Nabi Muhammad Saw. Matan hadits harus merefleksikan gerak pergumulan dialektik kekinian dan kedisinian, sesuai dengan semangat peradaban yang hidup di sekeliling reader.[34]
Dibawah ini, akan dideskripsikan beberapa pemaknaan dan penafsiran matan hadits, yakni
a.        Hadits tentang larangan melukis
عَن عبد ا لله بن مسعود قا ل: سمعت النبى (صلعم) يقول اِن اشد النا س عذابا عند الله يوم القيا مة المصورون (رواه البخارى ومسلم و احمد)
  Sesungguhnya orang yang paling dahsyat siksanya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para pelukis”. (Hadits riwayat Bukhari Muslim dan Ahmad)[35]
Secara tekstual hadits ini memberi pengertian adanya larangan melukis (makhluk yang bernyawa). Bahkan para imam mazhab sepakat akan keharaman menggambar, memajangnya dan menjualnya.[36] Cukup banyak hadits Nabi yang menjelaskan larangan melukis makhluk yang bernyawa. Dikemukakan bahwa para pelukis pada hari kiamat kelak dituntut untuk memberi nyawa kepada apa yang dilukisnya. Dikatakan juga bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada lukisan.[37]
Karena banyak hadits Nabi yang melarang pembuatan dan pemajangan lukisan makhluk yang bernyawa (yakni manusia dan hewan), maka tidak mengherankan bila pemahaman secara tekstual cukup banyak pendukungnya, khususnya pada zaman klasik. Dengan demikian dapat dipahami latar belakang yang menjadikan para pelukis muslim zaman klasik mengarahkan karya-karya lukis mereka ke dalam bentuk kaligrafi, objek tumbuh-tumbuhan dan pemandangan alam.[38]
Namun masalahnya adalah apakah kita tidak perlu melacak kembali kondisi sosio-historis pada waktu hadits tersebut dituturkan oleh Nabi. Bukankah larangan melukis dan memajang lukisan tersebut berkaitan dengan kondisi kejiwaan masyarakat ketika itu, di mana mereka secara psikologis belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah, yakni penyembahan patung-patung berhala.[39] Larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan oleh Nabi itu sesungguhnya mempunyai latar belakang hukum (‘illat al-hukum). Dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah, Nabi Muhammad berusaha keras agar umat Islam terlepas dari kemusyrikan. Salah satu cara yang ditempuh ialah dengan mengeluarkan larangan memproduksi dan memajang lukisan. Yang diancam siksaan berat tidak hanya yang memproduksi lukisan saja, tetap juga yang memajangnya.[40]
Kalau ‘illat al-hukum-nya memang demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan terjerumus ke dalam kemusyrikan, khususnya dalam bentuk penyembahan terhadap lukisn, maka membuat dan memajang lukisan dibolehkan. Kaidah usul fikih menyatakan:
الحكم يدور مع العلٌة وجودًا وعد مًا
“Hukum itu berkisaran dengan ‘illat-nya (latar belakangnya), keberadaan dan ketiadaannya”.[41]
Maksudnya, hukum itu ditentukan oleh ‘illat-nya. Bila ‘illat-nya ada, maka hukumnya ada dan bila ‘llat-nya sudah tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada.[42]
“Ekses” dari pemahaman secara kontekstual tersebut dapat saja timbul. Misalnya saja, lukisan dilukis pada saat masyarakat berkeyakinan bahwa menyembah patung musyrik. Ditempat lain atau tatkala sikap masyarakat telah berubah, lukisan itu lalu disembah oleh orang. Kalau demikian itu terjadi, maka apakah pelukisnya terlepas dari tanggung jawab atas penyembahan terhadap lukisannya itu? Yang salah memang orang yang menyembah lukisan tersebut, tetapi bagaimana pun juga sang pelukis tidak dapat mengelak dari tanggung jawab.[43]
b.        Hadits tentang urusan dunia
انتم اعلم با مر د نيا كم. (رواه مسلم عن انس)
“Kamu sekalian lebih mengetahui tentang urusan duniamu”. (Hadits riwayat Muslim dari Anas)[44]
     Hadits tersebut mempunyai sabab wurud (sebab yang mendahului terjadinya hadits). Pada suatu saat, Nabi lewat di hadapan para petani yang sedang mengawinkan serbuk (kurma pejantan) ke putik (kurma betina). Nabi berkomentar: “Sekiranya kamu sekalian tidak melakukan hal itu, niscaya kurmamu akan baik”. Mendengar komentar itu, para petani lalu tidak lagi mengawinkan kurma mereka. Setelah beberapa lama, Nabi lewat kembali ke tempat itu dan medegur para petani:”Mengapa pohon kurmamu itu?” Para petani lalu melaporkan apa yang telah dialami oleh kurma mereka, yakni banyak yang tidak jadi. Mendengar keterangan mereka itu, Nabi lalu bersabda sebagaimana yang dikutip di atas.[45]
     Hadits ini dijadikan pegangan oleh sebagian orang yang menjauhkan dirinya dari hukum syariat dalam bidang ekonomi, kebudayaan, politik dan sebagainya. Mereka yang berpendapat demikian mengatakan bahwa hal-hal tersebut termasuk urusan dunia kita.[46] Apakah seperti itu yang dimaksudkan oleh hadits tersebut? Tidak seperti itu, karena sesungguhnya tugas yang dibebankan oleh Allah kepada Rasul-rasulnya adalah menempatkan pondasi keadilan, kebenaran, dan batasan antara hak dengan kewajiban dalam urusan dunia bagi umat manusia supaya tidak rancau dan tidak terurai berai, seperti Firman Allah sebagai berikut:
ôs)s9 $uZù=yör& $oYn=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ $uZø9tRr&ur ÞOßgyètB |=»tGÅ3ø9$# šc#uÏJø9$#ur tPqà)uÏ9 â¨$¨Y9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( $uZø9tRr&ur yƒÏptø:$# ÏmŠÏù Ó¨ù't/ ÓƒÏx© ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 zNn=÷èuÏ9ur ª!$# `tB ¼çnçŽÝÇZtƒ ¼ã&s#ßâur Í=øtóø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# ;Èqs% ÖƒÌtã ÇËÎÈ  
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.”[47]
     Banyak kalangan yang memahami hadits tersebut secara tekstual. Mereka menyatakan bahwa Nabi tidak mengetahui banyak tentang urusan dunia dan menyerahkan urusan dunia itu kepada para sahabat (umat Islam). Ada pula yang berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadits itu, maka Islam membagi kegiatan hidup secara dikotomi, yakni kegiatan dunia dan kegiatan agama.[48] Hadits Nabi tersebut sesungguhnya tidaklah menyatakan bahwa Nabi sama sekali buta terhadap urusan dunia. Kata dunia yang termuat dalam hadits itu lebih tepat diartikan sebagai profesi atau bidang keahlian. Dengan demikian, maksud hadits itu aialah bahwa Nabi tidak memiliki keahlian sebagai petani, karenanya para petani lebih mengetahui tentang dunia pertanian dari pada Nabi.[49]
     Mengapa hadits tersebut tidak dikemukakan oleh Nabi kepada para pedagang, para pasukan perang dan para pengembala kambing? Karena dalam kegiatan berdagang, berperang dan mengembala kambing, Nabi memiliki keahlian dalam kegiatan tersebut. Kita tengok dalam sejarah, apakah Nabi dikenal sebagai ahli pertanian? Pastinya tidak, karena tidak ada yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. berkeahlian dalam bidang pertanian.
     Dengan demikian, yang harus diterapkan terhadap hadits hadits Nabi diatas adalah pemahaman secara kontekstual. Maksud hadits Nabi tersebut adalah penghargaan Nabi terhadap keahlian profesi ataupun bidang keahlian.[50] Jadi, para petani lebih mengetahui tentang dunia pertanian dari pada mereka yang bukan petani. Para pedagang lebih mengetahui dunia perdagangan dari pada para petani. Para kiyai pengasuh pondok pesantren lebih mengetahui dunia pesantren dari pada mereka yang bukan dari pesantren. Petunjuk Nabi tentang penghargaan terhadap keahlian profesi dan bidang keahlian itu bersifat universal.

PENUTUP
            Tantangan utama dalam studi hadits saat ini adalah bagaimana menjelaskan dan menganalisis prinsip-prinsip temporal dan universalitas hadits Nabi Saw. Sehingga terealisasi dalam konteks histori  dan sosial yang berbeda baik secara tekstual maupun kontekstual. Upaya seperti sangat membutuhkan wawasan yang luas tentang kepribadian Nabi Saw., para sahabat dan membutuhkanperangkat metodologis yang dengannya kita mampu berimajinasi dan melakukan ziarah intelektual ke masa lampau dan membangun masa depan yang lebih cerah.
            Salah satu perangkat metodologis yang digunakan penulis dalam upaya memahami masa lampau dan kemudian merekontruksi makna sebush matan hadits dalam wacana baru dan kekinian adalah pendekatan hermeneutik. Dalam perspektif ini, hadits bagaikan cermin yang sanggup memantulkan berbagai wajah sesuai dengan orang yang datang bercermin atau berdialog dengannya. Artinya, sebuah matan hadits tidak harus dipahami dalam bentuk pemahaman yang seragam dari berbagai madzhab-madzhab yang ada. Karena pemahaman dan penafsiran yang keluar dari sebuah hadits sangat dipengaruhi oleh olah alam pikir, kebudayaan, dan kebahasaan sang pembacannya. Dengan demikian, pemahaman dan penafsiran hadits yang bersifat multi dimensi, pluralistik dan memiliki fusion of horizon bagi pembaca yang hidup pada zaman  yang berbeda, tentunnya juga akan melahirkan pemahaman dan penafsiran yang berbeda pula.


DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Al-qur’an Dan Terjemahannya. Jakarta: Al-Fatih, 2012.
Ismail, Syuhudi. Hadits Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Cet. Ke-2. Jakarta: Bulan Bintang, 2009.

Ismail, Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Cet. Ke-2. Jakarta: Bulan Bintang, 2007.

Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Gre Publishing, 2011.
Nata, Abudin. Metode Studi Islam. Ed. Revisi 19. Jakarta: Rajawali Pres, 2012.
Nirwana, Dzikri. Diskursus Studi Hadits Dalam Wacana Islam Kontemporer. Vol. 13, No. 2. Banjarmasin: Al-Banjari, 2014.

Mubarok , Jaih dan Atang Abd. Hakim. Metodologi Studi Islam. Cet. 13. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.

Qardhawi, Yusuf. Studi Kritis As-Sunah. Cet. I. Bandung: Trigenda Karya, 1995.
Rahman dkk., Fazlur. Wacana Studi Hadits Kontemporer. Cet. I. Yogyakarta: PT Tiara Wacana  Yogya, 2002.

Thahir, Lukman S. Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi dan Sejarah. Yogyakarta: CV. Qalam, 2003.

Salam, Bustamin, M. Isa H. A. Metodologi Kritik Hadits. Ed. 1, Cet. 1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Yusuf, Muhammad. Metode & Aplikasi Pemaknaan Hadits (Relasi Iman dan Sosial-Humanistik Paradigma Integrasi-Interkoneksi). Yogyakarta: Teras, 2009.


[1] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Cet. 13, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 84.
[2] Dzikri Nirwana, Diskursus Studi Hadits Dalam Wacana Islam Kontemporer, Vol. 13, No. 2, (Banjarmasin: Al-Banjari, 2014), 178-203.
[3] Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi dan Sejarah, (Yogyakarta: CV. Qalam, 2003), 3.
[4] Ibid., 3-4.
[5] Abudin Nata, Metode Studi Islam, Ed. Revisi 19, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012), 28.
[6] Ibid., 235.
[7] Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Gre Publishing, 2011), 59.
[8] Lukman S. Thahir, Studi Islam…, 4.
[9] Ibid., 5.
[10] Ngainun Naim, Pengantar Studi…, 61.
[11] Lukman S. Thahir, Studi Islam…, 6.
[12] Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 108.
[13] Lukman S. Thahir, Studi Islam…, 6.
[14] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Cet. Ke-2, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), 22.
[15] Bustamin, M. Isa H. A. Salam., Metodologi Kritik Hadits, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 63.
[16] Bustamin, M. Isa H. A. Salam., Metodologi…, 105.
[17] Lukman S. Thahir, Studi Islam…, 7.
[18] Ibid., 7.
[19] Fazlur Rahman dkk., Wacana Studi Hadits Kontemporer, Cet. I, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana  Yogya, 2002), 145.
[20] Ngainun Naim, Pengantar Studi…, 99.
[21] Lukman S. Thahir, Studi Islam…, 8.
[22] Muhammad Yusuf, Metode & Aplikasi Pemaknaan Hadits (Relasi Iman dan Sosial-Humanistik Paradigma Integrasi-Interkoneksi), (Yogyakarta: Teras, 2009), 14.
[23] Fazlur Rahman dkk., Wacana Studi…, 145.
[24] Ngainun Naim, Pengantar Studi…, 100.
[25] Lukman S. Thahir, Studi Islam…, 9.
[26] Muhammad Yusuf, Metode & Aplikasi…, 20.
[27] Ibid., 20-21.
[28] Ibid., 21-22.
[29] Ibid., 25-26.
[30] Lukman S. Thahir, Studi Islam…, 10.
[31] Fazlur Rahman dkk., Wacana Studi…, 139-140.
[32] Lukman S. Thahir, Studi Islam…, 10.
[33] Ibid., 12.
[34] Ibid., 13.
[35]Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I, 323-324.
[36] Ibid., 19.
[37] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Cet. Ke-2, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), 36.
[38] Ibid.
[39] Lukman S. Thahir, Studi Islam…,20.
[40] M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi..., 37.
[41] Ibid.
[42] Ibid.
[43] Ibid., 37-38.
[44] Lihat Shahih Muslim, Juz IV, 1836
[45] Ibid.
[46] Yusuf Qardhawi, Studi Kritis As-Sunah, Cet. I, (Bandung: Trigenda Karya, 1995), 145.
[47] Departemen Agama, Al-qur’an Dan Terjemahannya, (Jakarta: Al-Fatih, 2012), 541.
[48] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi..., 57.
[49] Ibid.
[50] Ibid., 58.



Comments

Post a Comment

Popular Posts