PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM MENGKAJI TEKS HADITS
PENDEKATAN HERMENEUTIK
DALAM MENGKAJI TEKS
HADITS
Binti Nurjanah
Program Pasca Sarjana IAIN Tulungagung
E-mail: binti5jannah@gmail.com
Abstrak
Studi hadits dalam masalah pemahaman dan pemaknaan
terhadap hadits sangatlah penting, karena merupakan tuntutan zaman. Dalam
mengkaji teks atau matan hadits harus memahami variabel dan situasi di
balik sebuah teks atau matan sehingga terhindar dari kesalahpahaman
dalam menafsirkan teks atau matan hadits. Dengan pendekatan
historis-deskriptif, makalah ini akan memetakan hadits dan pendekatan dalam
mengkaji hadits. Ada 3 (tiga) kecenderungan kajian hadits yang dideskripsikan
dalam makalah ini, yaitu 1) Hadits sebagai berita, 2) Pendekatan hermeneutik, 3)
Mengkaji atau memahami makna teks atau matan hadits melalui pendekatan hermeneutik.
Kata Kunci: hadits, pendekatan hermeneutik, matan
PENDAHULUAN
Hadits merupakan sumber ajaran Islam dan sumber
hukum yang kedua setelah Al-qur’an. Menurut ulama ahli ushul fiqh, hadits
adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Saw. yang berkaitan dengan
penetapan hukum.[1] Sementara
dalam versi ahli hadis, hadis mempunyai pengertian yang lebih luas mencakup
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw., baik berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, penampilan fisik dan budi pekerti, biografi,
peperangan, hingga gerak dan diam dalam kondisi jaga dan tidur, serta sesuatu
yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.[2]
Berbalik dari pernyataan tersebut, maka wilayah hadits merangkul seluruh
kegiatan atau aktivitas kehidupan Nabi Saw. sehari-hari.
Dalam mengkaji hadits harus dilihat dulu
status dan konteks hadits pada saat sebuah hadits disabdakan, serta harus
mengetahui bentuk-bentuk teks atau matan sebuah hadits. Karena hal itu
merupakan upaya yang sangat penting dalam memahami makna hadits secara utuh.
Dalam studi ulumul hadits, masalah
pemahaman (under standing) dan pemaknaan (meaning) terhadap
matan sebuah hadits tidak hanya menempati posisi yang sangat signifikan
dalam wacana pemikiran Islam kontemporer, tetapi juga secara subtantif memberi
spirit reevaluatif dan reinterpretatif terhadap berbagai pemahaman dan
penafsiran hadits yang selama ini taken for granted di kalangan umat
Islam.[3]
Permasalahan ini akan nampak lebih jelas ketika pemahaman atau pemikiran dan
pemaknaan hadits ditunjukkan dengan kenyataan dan permintaan sejarah
perkembangan zaman atau perubahan kehidupan masyarakat global.
Model pemahaman seperti ini didasarkan
pada satu asumsi bahwa teks atau matan hadits bukanlah sebuah narasi
yang berbicara dalam ruang hampa sejarah (vacuum historis), melainkan berada di
tengah-tengah sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi di balik
sebuah teks atau matan yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin
memahami dan merekontruksi makna sebuah hadits.[4]
Apabila tanpa memahami berbagai kondisi dan situasi di belakang sebuah teks
atau matan hadits, meliputi suasan historis, sosiologi, psikologis dan
sebagainnya, maka akan menimbulkan kesalahpahaman dalam menafsirkan atau
memaknai teks atau matan hadits tersebut.
Oleh karena itu diperlukan berbagai
pendekatan, seperti: pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis,
historis, kebudayaan, filosofis, fenomenologi dan hermeneutik. Adapun yang
dimaksud pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat
dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.[5]
Dalam makalah ini, penulis menyajikan atau memaparkan mengenai hadits dan
pendekatan hermeneutik dalam mengkaji atau memahami makna teks atau matan
hadits.
PEMBAHASAN
Hadits Sebagai Berita
Pengertian hadits dari segi bahasa lebih
ditekankan pada arti berita atau khabar, sungguhpun kata tersebut dapat
berarti sesuatu yang baru atau sesuatu yang menunjukkan waktu yang dekat.[6]
Sebuah berita ini biasanya memberikan suatu informasi yang sangat pendek
tentang perkataan, perbuatan, persetujuan atau ketidak persetujuan Nabi Saw.
Dalam proses penyampaian hadits, ada 3
(tiga) cara yang dilakukan oleh Nabi, yaitu:
1. Penyampaian secara verbal. Bentuk ini merupakan bentuk penyampaian
utama, karena Nabi memang memiliki tugas utama sebagai seorang penyampai (Muballigh).
Model penyampaian hadits dengan cara verbal semacam ini, ada kalanya didahului
oleh sebuah peristiwa, seperti pertanyaan sahabat dan adakalanya tanpa momentum
yang mendahuluinya.
2. Penyampaian secara tertulis. Hal ini dilakukan ketika dakwah Nabi
dilakukan secara terang-terangan. Tulisan tersebut berupa surat ajakan Nabi
kepada pemimpin-pemimpin ‘Negara’ tetangga untuk ber-‘Islam.
3. Penyampaian secara demonstratife, yaitu dalam bentuk perilaku Nabi
untuk menjelaskan hal-hal yang sifatnya praktis, seperti sholat, wudhu,
tayammum dan lain-lain.[7]
Setiap hadits mengandung dua bagian yang
satu sama lainnya saling mendukung, yang pertama disebut teks atau matan
hadits itu sendiri dan yang kedua adalah mata rantai transmisi, sanad, yang
menyebutkan nama-nama penutur (rawi) teks hadits tersebut.[8]
Oleh karena itu, persoalaan paling utama adalah kedua unsur tersebut yakni teks
atau matan dan nama-nama penutur atau sanad, tidaklah mungkin
bila kedua unsur tersebut muncul dengan tiba-tiba tanpa melalui masa
berkembangan baik dari sisi teknis maupun materinya.
Suatu hadits yang dianggap tidak resmi,
bisa jadi sungguh-sungguh ada pada masa hidup Nabi sendiri saat Nabi dijadikan
sebagai sumber pedoman masyarakat muslim, tetapi setelah Nabi wafat hadits
beralih dari kondisi informal semata-mata menjadi semi-formal.[9]
Ketika Nabi Saw. masih hidup tidak ada permasalah yang bersangkutan dengan
oreantasi hadits. Hadits masih tetap terjaga keshahihannya, karena untuk
memeriksa keshahihan hadits tinggal menemui Nabi Saw., sebab Nabi masih ada.
Sedangkan ketika Nabi Saw. wafat mulai muncul perpecahan kelompok atau
permasalahan yaitu keshahihan atau pemalsuan hadits.
Jumlah hadits membengkak pesat karena
masing-masing kelompok yang terpecah membuat ‘hadits-hadits’ sendiri, baik
sebagai alat legitimasi maupun sebagai alat penyerang pihak lawan.[10]
Dari sini muncullah problem yakni bagaimana mengetahui hadits yang benar-benar
dan bukan berasal dari Nabi Saw.
Salah satu upaya untuk memahami keaslian
hadits ini adalah melalui sistem isnad yaitu setiap berita yang
dinisbatkan kepada Nabi Saw. harus mempunyai serangkaian sanad hingga pada diri
Nabi Saw. bersamaan dengan itu, diciptakanlah teori-teori tentang validitas
sebuah hadits.[11] Ada 5
(lima) unsur pokok yang menjadi batasan keshahihan sebuah hadits, yaitu Pertama,
Persambungan sanad para perawi, Kedua, Keadilan perawi, Ketiga, Tingkat
kemampuan perawi dalam pemeliharaan hadits (dhabit), Ke-empat, Terhindar
dari syaz, Ke-lima, Terhindar dari ‘illah.[12]
Kelima unsur ini pada awalnya dikenal sebagai tolak ukur kritik sanad, namun
pada perkembangan berikutnya istilah ini juga dikenakan sebagai tolak ukur bagi
kritik matan. Karena itu, hadza hadits shahih mempunyai arti bahwa
hadits tersebut adalah shahih, baik dari sisi sanad maupun matan.[13]
‘Abdullah bin al-Mubarak (wafat 181
H/797 M) menyatakan bahwa: “Sanad hadits merupakan bagian dari agama. Sekiranya
sanad hadits tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang
dikehendakinya”.[14]
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa sanad hadits merupakan hal terpenting
dalam periwayatan hadits. Keberadaan suatu hadits yang termuat dalam berbagai
kitab hadits juga ditentukan oleh keberadaan dan kualitas sanadnya.
Ibn Al-Jawzi (wafat 597 H/ 1210 M)
memberikan tolak ukur keshahihan matan yaitu setiap hadits yang
bertentangan dengan akal ataupun berlawanan dengan ketentuan pokok agama, pasti
hadits tersebut tergolong hadits mawdhu’, karena Nabi Muhammad Saw.
tidak mungkin menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, demikian
pula terhadap ketentuan pokok agama, seperti menyangkut aqidah dan ibadah.[15]
Kaitannya dengan pemahaman keshahihan matan
hadits, Muhammad Al-Ghazali mengajukan tiga syarat yang harus dimilki
seseorang yang ingin meneliti kebenaran dan mengkaji hadits-hadits Nabi
Muhammad Saw. yakni:
1. Ia harus memahami Al-qur’an dan cabang-cabang ilmunya secara
mendalam. Hal ini penting karean Al-qur’an merupakan referensi pokok dalam
Islam. Untuk mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang muslim harus
bertolak dari petunjuk Al-qur’an.
2. Ia harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang riwayat-riwayat
dan matan hadits. Keahlian
tersebut penting bukan hanya untuk mengetahui ketersambungan sanadnya, tetapi
untuk mengetahui kualitas individu-individu yang ikut serta dalam periwayatan
hadits tersebut. Namun yang terpenting adalah mengetahui kualitas matan hadits.
3. Ia harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hal dan
peristiwa yang melingkupi kemunculan hadits dihadapan Al-qur’an secara
proporsional.[16]
Dalam diskursus hadits, proses discovery
terhadap transmisi mata rantai (sanad) dianggap lebih mudah
penyelesaiannya dan sudah dianggap final disbanding memahami sebuah matan
yang pemaknaannya bersifat tidak terbatas (unlimited) terutama
ketika teks tersebut dihadapkan pada ungkapan-ungkapan yang bersifat Jami’
al-Kalim, Mukhtalaf al-Hadits, dan hadits yang memiliki sebab-sebab khusus
dan ada pula yang tidak.[17]
Terdapat hadits yang saling bertentangan, yaitu karya imam syafi’I dan Ibnu
Qutaibah, disatu sisi bisa memberi petunjuk kepada kita untuk memahami proses
fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana, memahami beberapa hal
menyangkut sebab-sebab lahirnya sebuah wacana (asbabul al-wurud) dan
dapat menjadi “jembatan” argumrn bagi kelompok-kelompok yang meragukan otoritas
dan hegemoni hadits sebagai sumber kedua setelah Al-qur’an.[18]
Namun ketika kedua karya tokoh tersebut dijadikan sebuah jawaban dan resensi di
zamannya, maka hal ini dianggap kurang memberikan solusi terhadap situasi dan
realita yang dihadapi masyarakat Islam sekarang. Karena kehidupan terus
berkembang atau terjadi perubahan zaman.
Hermeneutik
Secara etimologi, hermeneutik berasal
dari bahasa Yunani hermeneuien yang berarti menafsirkan.[19]
Dalam mitologi Yunani, ada tokoh yang namanya dikaitkan dengan hermeneutik
yaitu Hermes. Menurut mitos, Hermes bertugas untuk menafsirkan kehendak dewa
dengan bantuan kata-kata manusia agar manusia dapat memahami kehendak dewa,
sebab bahasa dewa tidak dapat dipahami manusia.[20]
Menurut Husen Nasr, Hermes tak lain adalah Nabi Idris.[21]
Definisi hermeneutika secara luas
dikemukakan oleh Zigmunt Bauman, yaitu:
“Sebagai upaya menjelaskan
dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang
tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan
kebingungan bagi pendengar atau
pembaca”.[22]
Problematika hermeneutik pada hakikatnya
problematika yang berkaitan dengan bahasa, karena untuk berfikir, menulis,
berbicara, mengerti, bahkan interpretasi, semua menggunakan bahasa.[23]
Tugas hermeneutik yang paling utama adalah untuk memahami teks.
Dalam perkembangannya hingga sekarang
ini, hermeneutik minimal mempunyai tiga pengertian. Pertama, dapat
diartikan sebagai peralihan dari suatu yang relative abstrak (misalnya ide
pemikiran) ke dalam bentuk ungkapan-ungkapan yang konkret (misalnya dengan
bentuk bahasa). Kedua, terdapat usaha mengalihkan dari suatu bahasa
asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa
dimengerti oleh si pembaca. Ketiga, seseorang sedang memindahkan suatu
ungkapan pikiran yang kurang jelas diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih
jelas.[24]
Atas dasar pengertian-pengertian ini,
jika hermeneutik ditarik dalam wanaca studi hadits, maka persoalan yang muncul
adalah bagaimana menjelaskan isi sebuah matan kepada masyarakat yang hidup
dalam tempat dan kurun waktu yang jauh berbeda dari pihak pengarangnya (Nabi
Muhammad) untuk dipahami dan direkonstruksi dalam rangka menafsirkan realitas
sosial kekinian.[25] Disini
pendekatan hermeneutik bukan hanya sebagai pemahaman semata, tetapi juga
sebagai ilmu yang menjelaskan atau menguraikan tentang hadits dalam situasi
baru maupun kekinian.
Berikut ini adalah beberapa pemikiran
seputar pemaknaan hadits Nabi dari tokoh-tokoh era modern yang bernuansa
hermeneutik. Menurut Syuhudi Ismail, hermeneutika hadits lebih ditekankan pada
pembedaan makna tekstual dan kontekstual hadits. Ia berpendapat bahwa matan dari
hadits-hadits Nabi ada yang perlu dipahami secara tekstual, kontekstual dan tekstual-kontekstual
sekaligus.[26]
Pemahaman hadits secara tekstual
dilakukan bila hadits yang bersangkutan dihubungkan dengan segi-segi yang
berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinnya, tetap menuntut
pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadits yang bersangkutan.
Begitu pula dengan halnya pemahaman hadits secara kontekstual dilakukan bila
“di balik” teks suatu hadits, ada petunjuk kuat yang mengharuskan hadits yang
bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang tersurat
(tekstual).[27]
Pemahaman Syuhudi Ismail di atas berangkat dari asumsi dasar hermeneutika,
yaitu pluralitas hidup manusia. Menurutnya, masyarakat manusia pada setiap
generasi dan tempat, selain memiliki berbagai kesamaan, juga memiliki berbagai
perbedaan dan kekhususan. Perbedaan dan kekhususan itu mungkin disebabkan oleh
perbedaan waktu dan atau mungkin oleh perbedaan tempat. Disinilah pentingnya
kontekstualisasi dalam memahami ajaran Islam yang sesuai dengan segala waktu
dan tempat ketika dikaitkan dengan kondisi masyarakat manusia.[28]
Ada sebuah rumusan metodologis
sistematis hermeneutika hadits yakni:
1. Kritik historis. Sebuah tahapan penting dalam hermeneutika
berdasarkan asumsi bahwa tidak mungkin terjadi pemahaman yang sahih bila
tidak ada kepastian bahwa apa yang dipahami itu secara historis otentik. Oleh
karena itu, penggunaan kaidah ke-sahi-an yang telah ditetapkan oleh para
ulama merupakan sesuatu yang niscaya meskipun harus diakui bahwa pada tingkatan
operasional, penggunaan kaidah tersebut maasih menghadapi sejumlah problem.
2. Kritik eidetis. Kritik ini memuat tiga langkah utama: Pertama, analisis
isi, yaitu pemahaman terhadap muatan makna hadits melalui kajian linguistik,
kajian tematis-komprehensif, dan juga dilakukan konfirmasi makna yang diperoleh
dengan petunjuk Al-qur’an. Kedua, analisis realitas historis, yaitu
upaya untuk menemukan konteks sosio-historis hadits-hadits. Langkah ini
mensyaratkan adanya suatu kajian mengenai situasi makro, yaitu situasi
kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Rasulullah Saw.,
termasuk mengenai kultur mereka. Setelah itu, kajian mengenai situasi-situasi
mikro, yaitu asbabul wurud al-hadis, dan Ketiga, analisis
generalisasi dengan cara menangkap makna universal yang tercakup dalam hadits.
3. Kritik Praktis, yaitu suatu kajian yang cermat terhadap situasi
kekinian dan analisis berbagai realitas yang dihadapi, sehingga dapat dinilai
dan diubah kondisinnya sejauh diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas
baru untuk mengimplementasikan nilai-nilai hadits secara baru pula.[29]
Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik
kesimpulan atau benang merah, bahwa bagi mereka yang mendalami dan atau
mempelajari sejarah Nabi Muhammad Saw. dan perilaku para sahabat Nabi Saw.
sudah barang tentu akan mempunyai atau memiliki pemahaman atau pemikiran yang
berbeda dari mereka yang tidak mendalami dan atau mempelajari sejarah dan
perilaku para sahabat Nabi Saw. ketika sama-sama memahami sebuah matan hadits.
Karena sebagian uacapan atau perkataan Nabi Saw. bersifat situasional, maka
oleh sebab itu sebagian sabdanya dirasakan tidak lagi tepat untuk menjelaskan
realitas sosial hari ini.
Mengkaji Teks atau Matan Hadits
Meneliti kebenaran suatu teks merupakan
bagian dari upaya membenarkan yang benar dan membatalkan yang batil. Kaum
muslimin sangat besar perhatiannya dalam segi ini, baik untuk penetapan suatu
pengetahuan ataupun pengambilan suatu dalil. Apalagi jika hal itu berkaitan
dengan riwayat hidup Nabi, atau ucapan dan perbuatan yang dinisbatkan kepada
beliau.[30]
Rasulullah memiliki berbagai posisi dan fungsinya, yaitu adakalanya Rasulullah
berperan sebagai manusia biasa, sebagai pribadi, sebagai suami, sebagai utusan
Allah, sebagai kepala Negara, sebagai pemimpin masyarakat, sebagai panglima
perang maupun sebagai hakim. Keberadaan Rasululllah ini menjadi acuan bahwa
untuk memahami Hadits beliau perlu dikaitkan dengan peran apa yang sedang
beliau “mainkan”.Oleh karenanya penting sekali menduduki pemahaman hadits pada
tempat yang proposonal, kapan dipahami secara tekstual, kontekstual, universal,
temporal, situasional maupun lokal.[31]
Terdapat persoalan seperti ini, suatu
kewajaran bagi umat Islam untuk membicarakan apa yang dilakukan atau dikatan
Nabi, terutama yang berhubungan dengan masalah-maslah kemasyarakatan. Apabila
kita menolak fenomena yang wajar ini berarti kita sangat tidak bersikap
rasional dan telah melakukan kesalahan terhadap sejarah. Dengan demikian,
rekrontruksi makna atas sebuah hadits bukan hanya merupakan manifestasi dari
sikap rasionalitas dan keniscayaan sejarah, tetapi juga sekaligus menempatkan
ucapak dan perbuatan Nabi menjadi sesuatu yang selalu hidup dan bermakna dalam
dimensi ruang dan waktu.[32]
Upaya menghidupkan ucapan dan perbuatan
Nabi ini pernah dilakukan oleh sebagian ulama Islam pada masa lampau,
diantaranya Imam Syafi’i, Ibnu Qutaibah dan Ibn Hajar al-Atsqalany. Dalam
wacana hermeneutik, ketiga tokoh ini, baik Imam Syafi’i, Ibn Qutaibah ataupun
Ibnu Hajar sama-sama telah melakukan ziarah historis dan dialog hermeneutik
dengan implikasi yang sangat besar. Implikasi tersebut antara lain: pemahaman
terhadap Al-qur’an, hadits dan tradisi keislaman selalu diperbaharui dan
diperluas horisonnya sehingga tidak mengeras dan menutup diri menjadi ideologi
yang disakralkan dan menyingkirkan penilaian tabu terhadap upaya penafsiran
baru. Perluasan horizon sulit diwujudkan jika seseorang tidak menyadari bahwa
semua peristiwa dan pemikiran selalu dibatasi oleh situasi, termasuk medium
bahasa Arab yang disapa secara langsung kala itu. Menyadari dimensi “situasional”
ini, maka tradisi Islam telah melahirkan sekian banyak mujtahid yang selalu
berusaha memperluas horizon penafsiran dan pemahaman umat Islam terhadap
Al-qur’an (termasuk hadits).[33]
Atas dasar pemahaman ini, maka sebuah
teks keagamaan (baca: Al-qur’an atau hadits) hanya akan menjadi bermakna
apabila diposisikan secara relasional dengan mesyarakat pembacanya. Sebuah
hadits tidak pernah berdiri sendiri, tetapi memiliki kaitan dengan tradisi dan
komunitas beragama yang meresponinya. Ketika hadits dilepaskan dari umatnya,
maka tidak akan lagi bermakna, kecuali sekadar bundelan kertas yang dipenuhi
goresan tinta di koleksi perpustakaan. Karena itu, untuk menghindari kumpulan
hadits menjadi benda-benda arkeologis, maka dalam perspektif ini, matan hadits
harus direkrontruksi dan tetap terbuka serta tidak terbatas pada penggal waktu
tertentu sebagaimana yang dimaksud Nabi Muhammad Saw. Matan hadits harus
merefleksikan gerak pergumulan dialektik kekinian dan kedisinian, sesuai dengan
semangat peradaban yang hidup di sekeliling reader.[34]
Dibawah ini, akan dideskripsikan
beberapa pemaknaan dan penafsiran matan hadits, yakni
a.
Hadits
tentang larangan melukis
عَن عبد ا لله بن مسعود قا
ل: سمعت النبى (صلعم) يقول اِن اشد النا س عذابا عند الله يوم القيا مة المصورون
(رواه البخارى ومسلم و احمد)
“Sesungguhnya orang yang paling dahsyat
siksanya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para pelukis”. (Hadits
riwayat Bukhari Muslim dan Ahmad)[35]
Secara tekstual hadits ini memberi pengertian
adanya larangan melukis (makhluk yang bernyawa). Bahkan para imam mazhab
sepakat akan keharaman menggambar, memajangnya dan menjualnya.[36]
Cukup banyak hadits Nabi yang menjelaskan larangan melukis makhluk yang
bernyawa. Dikemukakan bahwa para pelukis pada hari kiamat kelak dituntut untuk
memberi nyawa kepada apa yang dilukisnya. Dikatakan juga bahwa malaikat tidak
akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada lukisan.[37]
Karena banyak hadits Nabi yang melarang
pembuatan dan pemajangan lukisan makhluk yang bernyawa (yakni manusia dan
hewan), maka tidak mengherankan bila pemahaman secara tekstual cukup banyak
pendukungnya, khususnya pada zaman klasik. Dengan demikian dapat dipahami latar
belakang yang menjadikan para pelukis muslim zaman klasik mengarahkan
karya-karya lukis mereka ke dalam bentuk kaligrafi, objek tumbuh-tumbuhan dan
pemandangan alam.[38]
Namun masalahnya adalah apakah kita tidak
perlu melacak kembali kondisi sosio-historis pada waktu hadits tersebut
dituturkan oleh Nabi. Bukankah larangan melukis dan memajang lukisan tersebut
berkaitan dengan kondisi kejiwaan masyarakat ketika itu, di mana mereka secara
psikologis belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah, yakni
penyembahan patung-patung berhala.[39]
Larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan oleh Nabi itu
sesungguhnya mempunyai latar belakang hukum (‘illat al-hukum). Dalam
kapasitasnya sebagai Rasulullah, Nabi Muhammad berusaha keras agar umat Islam
terlepas dari kemusyrikan. Salah satu cara yang ditempuh ialah dengan
mengeluarkan larangan memproduksi dan memajang lukisan. Yang diancam siksaan
berat tidak hanya yang memproduksi lukisan saja, tetap juga yang memajangnya.[40]
Kalau ‘illat al-hukum-nya memang
demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan terjerumus ke
dalam kemusyrikan, khususnya dalam bentuk penyembahan terhadap lukisn, maka
membuat dan memajang lukisan dibolehkan. Kaidah usul fikih menyatakan:
الحكم يدور مع العلٌة وجودًا وعد مًا
“Hukum itu berkisaran
dengan ‘illat-nya (latar belakangnya), keberadaan dan ketiadaannya”.[41]
Maksudnya, hukum itu ditentukan oleh ‘illat-nya.
Bila ‘illat-nya ada, maka hukumnya ada dan bila ‘llat-nya sudah
tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada.[42]
“Ekses” dari pemahaman secara kontekstual
tersebut dapat saja timbul. Misalnya saja, lukisan dilukis pada saat masyarakat
berkeyakinan bahwa menyembah patung musyrik. Ditempat lain atau tatkala sikap
masyarakat telah berubah, lukisan itu lalu disembah oleh orang. Kalau demikian
itu terjadi, maka apakah pelukisnya terlepas dari tanggung jawab atas
penyembahan terhadap lukisannya itu? Yang salah memang orang yang menyembah
lukisan tersebut, tetapi bagaimana pun juga sang pelukis tidak dapat mengelak
dari tanggung jawab.[43]
b.
Hadits
tentang urusan dunia
انتم اعلم با مر د نيا كم. (رواه مسلم عن انس)
“Kamu sekalian lebih
mengetahui tentang urusan duniamu”. (Hadits riwayat Muslim dari Anas)[44]
Hadits tersebut mempunyai sabab
wurud (sebab yang mendahului terjadinya hadits). Pada suatu saat, Nabi
lewat di hadapan para petani yang sedang mengawinkan serbuk (kurma pejantan) ke
putik (kurma betina). Nabi berkomentar: “Sekiranya kamu sekalian tidak
melakukan hal itu, niscaya kurmamu akan baik”. Mendengar komentar itu, para
petani lalu tidak lagi mengawinkan kurma mereka. Setelah beberapa lama, Nabi
lewat kembali ke tempat itu dan medegur para petani:”Mengapa pohon kurmamu
itu?” Para petani lalu melaporkan apa yang telah dialami oleh kurma mereka,
yakni banyak yang tidak jadi. Mendengar keterangan mereka itu, Nabi lalu
bersabda sebagaimana yang dikutip di atas.[45]
Hadits ini dijadikan pegangan
oleh sebagian orang yang menjauhkan dirinya dari hukum syariat dalam bidang
ekonomi, kebudayaan, politik dan sebagainya. Mereka yang berpendapat demikian
mengatakan bahwa hal-hal tersebut termasuk urusan dunia kita.[46]
Apakah seperti itu yang dimaksudkan oleh hadits tersebut? Tidak seperti itu,
karena sesungguhnya tugas yang dibebankan oleh Allah kepada Rasul-rasulnya
adalah menempatkan pondasi keadilan, kebenaran, dan batasan antara hak dengan
kewajiban dalam urusan dunia bagi umat manusia supaya tidak rancau dan tidak
terurai berai, seperti Firman Allah sebagai berikut:
ôs)s9 $uZù=yör& $oYn=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ $uZø9tRr&ur ÞOßgyètB |=»tGÅ3ø9$# c#uÏJø9$#ur tPqà)uÏ9 â¨$¨Y9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( $uZø9tRr&ur yÏptø:$# ÏmÏù Ó¨ù't/ ÓÏx© ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 zNn=÷èuÏ9ur ª!$# `tB ¼çnçÝÇZt ¼ã&s#ßâur Í=øtóø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# ;Èqs% ÖÌtã ÇËÎÈ
“Sesungguhnya
Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong
(agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya
Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.”[47]
Banyak kalangan
yang memahami hadits tersebut secara tekstual. Mereka menyatakan bahwa Nabi
tidak mengetahui banyak tentang urusan dunia dan menyerahkan urusan dunia itu
kepada para sahabat (umat Islam). Ada pula yang berpendapat bahwa berdasarkan
petunjuk hadits itu, maka Islam membagi kegiatan hidup secara dikotomi, yakni
kegiatan dunia dan kegiatan agama.[48] Hadits
Nabi tersebut sesungguhnya tidaklah menyatakan bahwa Nabi sama sekali buta
terhadap urusan dunia. Kata dunia yang termuat dalam hadits itu lebih tepat
diartikan sebagai profesi atau bidang keahlian. Dengan demikian, maksud hadits
itu aialah bahwa Nabi tidak memiliki keahlian sebagai petani, karenanya para
petani lebih mengetahui tentang dunia pertanian dari pada Nabi.[49]
Mengapa hadits
tersebut tidak dikemukakan oleh Nabi kepada para pedagang, para pasukan perang
dan para pengembala kambing? Karena dalam kegiatan berdagang, berperang dan
mengembala kambing, Nabi memiliki keahlian dalam kegiatan tersebut. Kita tengok
dalam sejarah, apakah Nabi dikenal sebagai ahli pertanian? Pastinya tidak,
karena tidak ada yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. berkeahlian dalam bidang
pertanian.
Dengan
demikian, yang harus diterapkan terhadap hadits hadits Nabi diatas adalah
pemahaman secara kontekstual. Maksud hadits Nabi tersebut adalah penghargaan
Nabi terhadap keahlian profesi ataupun bidang keahlian.[50] Jadi,
para petani lebih mengetahui tentang dunia pertanian dari pada mereka yang
bukan petani. Para pedagang lebih mengetahui dunia perdagangan dari pada para
petani. Para kiyai pengasuh pondok pesantren lebih mengetahui dunia pesantren
dari pada mereka yang bukan dari pesantren. Petunjuk Nabi tentang penghargaan
terhadap keahlian profesi dan bidang keahlian itu bersifat universal.
PENUTUP
Tantangan
utama dalam studi hadits saat ini adalah bagaimana menjelaskan dan menganalisis
prinsip-prinsip temporal dan universalitas hadits Nabi Saw. Sehingga
terealisasi dalam konteks histori dan
sosial yang berbeda baik secara tekstual maupun kontekstual. Upaya seperti
sangat membutuhkan wawasan yang luas tentang kepribadian Nabi Saw., para
sahabat dan membutuhkanperangkat metodologis yang dengannya kita mampu
berimajinasi dan melakukan ziarah intelektual ke masa lampau dan membangun masa
depan yang lebih cerah.
Salah
satu perangkat metodologis yang digunakan penulis dalam upaya memahami masa
lampau dan kemudian merekontruksi makna sebush matan hadits dalam wacana baru
dan kekinian adalah pendekatan hermeneutik. Dalam perspektif ini, hadits
bagaikan cermin yang sanggup memantulkan berbagai wajah sesuai dengan orang
yang datang bercermin atau berdialog dengannya. Artinya, sebuah matan hadits
tidak harus dipahami dalam bentuk pemahaman yang seragam dari berbagai
madzhab-madzhab yang ada. Karena pemahaman dan penafsiran yang keluar dari
sebuah hadits sangat dipengaruhi oleh olah alam pikir, kebudayaan, dan
kebahasaan sang pembacannya. Dengan demikian, pemahaman dan penafsiran hadits
yang bersifat multi dimensi, pluralistik dan memiliki fusion of horizon bagi
pembaca yang hidup pada zaman yang
berbeda, tentunnya juga akan melahirkan pemahaman dan penafsiran yang berbeda
pula.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Al-qur’an
Dan Terjemahannya. Jakarta: Al-Fatih, 2012.
Ismail, Syuhudi. Hadits Nabi Yang Tekstual Dan
Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal,
Temporal dan Lokal. Cet. Ke-2. Jakarta: Bulan Bintang, 2009.
Ismail, Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta:
Bulan Bintang, 1988.
Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadits Nabi.
Cet. Ke-2. Jakarta: Bulan Bintang, 2007.
Naim, Ngainun. Pengantar Studi
Islam. Yogyakarta:
Gre Publishing, 2011.
Nata, Abudin. Metode Studi Islam. Ed.
Revisi 19. Jakarta:
Rajawali Pres, 2012.
Nirwana,
Dzikri.
Diskursus Studi Hadits Dalam Wacana Islam Kontemporer.
Vol. 13, No. 2. Banjarmasin:
Al-Banjari, 2014.
Mubarok
, Jaih dan Atang Abd. Hakim.
Metodologi Studi Islam.
Cet. 13. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2012.
Qardhawi, Yusuf. Studi
Kritis As-Sunah. Cet. I. Bandung: Trigenda Karya, 1995.
Rahman
dkk., Fazlur. Wacana Studi Hadits Kontemporer.
Cet. I. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002.
Thahir,
Lukman S.
Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Filsafat,
Sosiologi dan Sejarah. Yogyakarta:
CV. Qalam, 2003.
Salam,
Bustamin, M. Isa H. A. Metodologi Kritik Hadits.
Ed.
1, Cet. 1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Yusuf, Muhammad. Metode & Aplikasi Pemaknaan Hadits (Relasi Iman dan
Sosial-Humanistik Paradigma Integrasi-Interkoneksi). Yogyakarta:
Teras, 2009.
[1] Atang Abd. Hakim dan Jaih
Mubarok, Metodologi Studi Islam, Cet. 13, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012), 84.
[2] Dzikri Nirwana, Diskursus
Studi Hadits Dalam Wacana Islam Kontemporer, Vol. 13, No. 2, (Banjarmasin:
Al-Banjari, 2014), 178-203.
[3] Lukman S. Thahir, Studi Islam
Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi dan Sejarah,
(Yogyakarta: CV. Qalam, 2003), 3.
[4] Ibid., 3-4.
[5] Abudin Nata, Metode Studi
Islam, Ed. Revisi 19, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012), 28.
[6] Ibid., 235.
[7] Ngainun Naim, Pengantar Studi
Islam, (Yogyakarta: Gre Publishing, 2011), 59.
[8] Lukman S. Thahir, Studi
Islam…, 4.
[9] Ibid., 5.
[10] Ngainun Naim, Pengantar
Studi…, 61.
[11] Lukman S. Thahir, Studi
Islam…, 6.
[12] Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 108.
[13] Lukman S. Thahir, Studi
Islam…, 6.
[14] Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadits Nabi, Cet. Ke-2, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), 22.
[15] Bustamin, M. Isa H. A. Salam., Metodologi
Kritik Hadits, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
63.
[16] Bustamin, M. Isa H. A. Salam., Metodologi…,
105.
[17] Lukman S. Thahir, Studi
Islam…, 7.
[18] Ibid., 7.
[19] Fazlur Rahman dkk., Wacana
Studi Hadits Kontemporer, Cet. I, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002), 145.
[20] Ngainun Naim, Pengantar
Studi…, 99.
[21] Lukman S. Thahir, Studi
Islam…, 8.
[22] Muhammad Yusuf, Metode &
Aplikasi Pemaknaan Hadits (Relasi Iman dan Sosial-Humanistik Paradigma
Integrasi-Interkoneksi), (Yogyakarta: Teras, 2009), 14.
[23] Fazlur Rahman dkk., Wacana
Studi…, 145.
[24] Ngainun Naim, Pengantar
Studi…, 100.
[25] Lukman S. Thahir, Studi
Islam…, 9.
[26] Muhammad Yusuf, Metode &
Aplikasi…, 20.
[27] Ibid., 20-21.
[28] Ibid., 21-22.
[29] Ibid., 25-26.
[30] Lukman S. Thahir, Studi
Islam…, 10.
[31] Fazlur Rahman dkk., Wacana
Studi…, 139-140.
[32] Lukman S. Thahir, Studi
Islam…, 10.
[33] Ibid., 12.
[34] Ibid., 13.
[37] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi
Yang Tekstual Dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam
yang Universal, Temporal dan Lokal, Cet. Ke-2, (Jakarta: Bulan Bintang,
2009), 36.
good
ReplyDeleteBoleh saya nak tahu lebih lanjut berkenaan perkara ini.
ReplyDeleteemail saya ieranayan@gmail.com
Saya juga masih belajar
DeleteThis comment has been removed by the author.
Delete