Perbandingan Mazhab Tentang Puasa
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Puasa tidak sekedar menahan haus dan lapar saja tapi Dalam berpusa banyak
sekali hokum-hukum yang mengatur tentang ketentuan berpuas. Puasa merupakan
suatu keharusan ibadah yang wajib dilaksanakan oleh umat islam. Dan apabila
puasa itu ditiggalkan maka kita wajib menggantinya. Puasa mulai diwajibkan pada
bulan sya’ban, tahun ke dua hijriyah.
Puasa merupakan fardu ain. Dalam
hal ini semua ulam sepakat tapi banyak hal-hal yang dipertanyakan kekika
menjalani puasa. Maka jarang pada setiap permasalahan dalam berpusa cara
penyelesaianya pun berbeda-beda antara uama satu dengan ulama yang lainya. Oleh
sebab itu perlu kita kaji apa saja yang menjadi masalah dalam berpuasa dan
bagai mana penyelesain nya menurut ulama
mazhab.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
pengengertian puasa?
2. Bagaimana
pendapat ulama tentang puasanya orang mabuk dan arang yang gila?
3. Apa
saja yang dapat menyebabkan batalnya ibadah puasa?
C.
TUJUAN
PEMBELAJARAN
1. Untuk
mengetahui apa itu berpusa
2. Untuk
mengetahui pendapat ulama mazhab dengan puasanya orang yang mabuk dan orang
gila?
3. Untuk
mengetahui apa saja yang dapat membatalkan puasa?
BAB
II
PEMBAHASA
A.
PENGERTIAN PUASA
RAMADHAN
Puasa pada bulan ramadhan merupakan salah sutu rukun dari beberapa
rukun agama, dan orang yang mengingkarinya berate telah keluar dari islam,
karena ia seperti sholat.
Yaitu ditetapkan dengan keharusan dan
ketetapan itu diketahui baik oleh yang bodoh aupun yang alim, dewasa maupun
yang anak-anak. Puasa mulai diwajibkan pada bulan sya’ban, tahun kedua
hijriyah. Puasa merupakan fardu ‘ain’ bagi setiap mukallaf, dan tak seorangpun
diperbolehkan berbuka, kecuali mempunyai sebab-sebab sebagai berikut;[2]
1.
Haid dan nifAS :
Para ulama sepakat bahwa billa seorang wanita haid atau nifas, puasanya tidak
sah.
2.
Sakit : dalam
hal ini ulama mazhab berbeda pendapat:
Imamiyah:
seorang yang ditimpa suatu penyakit tidak boleh berpuasa, begitu pula jika akan
mengakibatkan penyakit bertambah parah, atau akan memperlambat kesembuhan,
karena sakit itu berbahaya, dan membahayakan diharamkan. Melakun ibadah itu
dilarang apabila menimbulkan bahaya bagi diriya, dan bila terpaksa berpuasa
dalam keadaan sakit, maka puasanya tidak sah. Untuk mengetahui apakah ia (orang
yang berpuasa) itu sakit, atau penyakit akan bertambah, cukup baginya
mempergunakan perkiraan sendiri.
Kalau dirinya sangat lemah, bukan menjadi
sebab dibolehkan nya berbuka, selama kelemahan itu sudah biasa bagi dirinya,
karena yang menjadi sebab diharuskannya (kwajibannya) berbuka adalah sakit itu
sendiri, bukan kelemahan, keletihan, dan kelelahan.
Empat
mazhab: kalau orang yang berbuka itu sakit, dan ia khawatir dengan berpuasa itu
akan menambah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya, maka bila suka
berpusalah bilatidak berbukalah.
Tetapi tidak ada
ketentuan (keharusan ) baginya, karena berbuka itu merupakan keringanan, bukan
keharusan bagi orang yang berada dalam keadaan sakit. Tetapi kalu menurut
perkiraanya sendiri bahwa dengan berpusa itu sendiri dapat menimbulkan bahaya,
atau akan membahayakan salah satu
anggota indranya, maka dia harus berbuka dan bila trus berpuasa, puasanya tidak
sah.[3]
Orang kafir tidak wajib berpuasa
dan tidak wajib mengqadha' (mengganti) begitulah menurut jumhur (mayoritas)
ulama, bahkan kalaupun mereka melakukannya tetap dianggap tidak sah. Hanya
saja ulama berbeda pendapat dalam menentukan apakah syarat islam ini syarat
wajib atau syarat sahnya puasa? Dan yang melatarbelakangi mereka dalam hal
ini adalah karena adanya perbedaan mereka dalam memahami ayat kewajiban
puasa, mengenai apakah orang kafir termasuk di dalamnya atau tidak. (baca
Surat Al Baqarah ayat 183)
Menurut Ulama Hanafiyah: orang kafir tidak termasuk dalam ketentuan wajib puasa. Sementara jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa mereka tetap termasuk dalam setiap firman Allah. Dengan demikian mereka dibebani untuk melakukan semua syariatNya (dalam hal ini mereka wajib memeluk agama Islam kemudian melakukan puasa). Jadi menurut pendapat pertama (Hanafiyah) mereka hanya menaggung dosa atas kekafirannya sementara menurut pendapat kedua (Jumhur Ulama) mereka menanggung dosa kekafiran dan meninggalkan syariat. Maka jika ada seorang kafir masuk Islam pada bulan ramadhan dia wajib melaksanakan puasa sejak saat itu. Sebagaimana firman Allah "Katakanlah pada orang kafir bahwa jika mereka masuk islam akan diampuni dosanya yang telah lalu" (QS. Al Anfal:38).[4] |
|
B.
HUKUM BERPUASA
BAGI ORANG YANG MABUK ATAU HILANG AKAL
Kita telah menjelaskan diatas bahwa
puasa Ramadhon itu wajib ain’ bagi tiap mukallaf. Dan yang dinamakan mukalaf
itu adalah orang yang sudah baligh dan berakal. Maka puasa tidak diwajibkan
bagi orang yang gila ketika sedang gila. Dan kalau dia berpuasa maka puasanya
tidak sah. Anak kecil tidak diwajibkan untuk berbuka puasa, tetapi puasanya
tetap sah, kalau dia sudah mumayyiz. Dan tidak boleh tidak , bahwa syarat
sahnya puasa adalah islam dan disertai niat.[5]
Syafi’I;
menurut syafi’i bagi orang yang mabuk atau pingsan kalau perasaan orang yang
mabuk atau pingsan hilang sepanjang waktu puasa, maka puasanya tidak sah.
Tetapi kalau hanya sebagian waktu saja, mqkq puasanya sah. Namun bagi orang
yang pingsan wajib meng-qodho’nya secara mutlak. Baik pingsanya disebabkan oleh
diri sendiri atau karena dipaksa. Tetapi bagi orang yang mabuk tidak wajib
meng-qodho’nya kecuali mabuknya disebabkan oleh dirinya secara khusus.
Maliki:
orang
yang mabuk dan pingsan mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari , atau tidak sadar
dari sebagian besar waktunya berpuasa, maka puasanya tidak sah. Tetapi kalau
tidak aadar hanya setengah hari, atau lebih sedikit dan mereka sadar pada waktu
niat, dan berniat, kemudian jatuh mabuk dan pingsan, maka mereka tidak
diwajibkan meng-qodho’nya. Waktu niat puasa menurut adalah dari magrib sampai fajar.
Hanafi: orang yang pingsan adalah
seperti orang gila, dan orang gila hukumnya : kalau gilanya selama satu bulan
ramadhan penuh, maka dia tidak diwajibkan meng-qodho’nya. Tetapi kalau
gilanya itu hanya setangah bulan, dan
setengah bulan akhir nya ai sadar, maka dia tetap harus berpuasa,dan wajib
mengganti hari-hari yang ditinggalkan pada waku gila.
Hambali:
bagi orang yang mabuk dan pingsan wajib meng-qodho’nya, baik karena perbuatan
diri sendiri atau karena dipaksa.
Imamiyah:
hanya bagi orang yang mabuk saja yan,
wajib menggantinya baik karena perbuatan sendiri atau tidak, tetapi bagi
orang pingsan tidak dieajibkan meng-qodhonya sekalipun pingsanya hanya
sebentar.[6]
C.
HAL-HAL YANG
MEMBATALKAN PUASA
1. Makan
dan minumm dengan sengaja, karena
keduannya dapat membatalkan puasa. Dan bagi orng yang makan dan minum dengan
sengaja wajib meng-qodho’nya, menurut semua ulama mazhab.
2. Bersetubuh
denggan sengaja, ia membatalkan puasa dan bagi yang melakukan persetubuhan
wajib menggantinya dan membayar kifayah, menurut semua ulama mazhab.
3. Istimma:
yaitu mengeluarkan mani, ia merusak puasa menurut ulama mazhab secara sepakat,
bila dilakukan secara sengaja.
4. Muntah
dengan sengaja, dapat merusak puasa. Dan menurut imamiyah, syafi’I dan maliki:
wajib meng-qodho’nya. Tetapi menurut hambali: ada dua riwayat,bahwa muntah
dengan terpaksa tidak membatalkan puaasa.
5. Imamiyah
menenggelamkan seluruh kepalanya kedalam air bersama badannya atau tidak dengan
badan nya, ia dapat membatalkan puasa dan wajib meng-qodho’nya dan juga wajib
membayar kifayah. Tetapi menurut mazhab-mazhab yang lain hal ini tidak
membatalkan.[7]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut kami
uraian tentang pentingnya mengetahi apa yang menjadi permasalahan dalam
berpuasa sangatlah perlu untuk kita ketahui sepeti:
1.
Puasa itu hukumnya wajib bagi setiap muslim, berakal, mampu, dan balig.
Puasa ramadhon merupakan fardu ain maka yang tidak melaksanakannya harus
membayar fityah sesuai yang telah ditententukan oleh ulama mazhab.
2.
Hokum bagi orang yang mabuk dalam menjalankan puasa
Menurut syafi’I, kalau perasaan
orang yang mabuk itu hilang sepanjang waktuberpuasa maka wajib menggantinya,
tapi kalau perasaan orang yang mabuk hilang hanya sebagian waktu saja maka
puasanya tetap sah.
Maliki; orang yang mabuk
atau pingsan mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, maka
puasanya tidak sah. Kalau ia sadar pada setengah hari dan pada saat niat atau
berniat kemudian pingsan lagi maka ia
tidak diwajiib kan membayar fityah.
Hambali:bagi orang yang
makalah ini kami buat, ada kurang dan lebihnya kami mohon maaf, serta kami
mengharap kritik dan saran dari pembaca agar akalah yang akan datang lebih
baik.
DAFTAR RUJUKAN
Muhammad jawad mughniyah, 2004, fiqih lima mazhab,
Jakarta ,Lentera basritama
http://feramulyap.blogspot.com/2012/05/
dalil tentang puasa html
http://www.pesantrenunvirtual.co/index.php/cption=com content&tansk=view&id=1026
[4] Diunduh pada tangal 25 sbtember 2013 pada
pukul 16.20 WIB. Pada situs
http://feramulyap.blogspot.com/dalil
tentang puasa/.
Comments
Post a Comment